Hari ini..semangat baru menggebrak jiwa setelah resensi Sang Patriot dimuat di Koran Jakarta..terima kasih Allah Ya Rabbi..Koran jakarta menerima resensi dari pembaca. Kirimkan ke opinikoranjakarta@yahoo.co.id dengan subyek Perada-judul buku-nama pengirim.
cek tulisannya disini : http://www.koran-jakarta.com/?11571-mengenal%20pahlawan%20jember%20sroedji
Bandingkan dengan tulisan aslinya :
cek tulisannya disini : http://www.koran-jakarta.com/?11571-mengenal%20pahlawan%20jember%20sroedji
Bandingkan dengan tulisan aslinya :
Mengenal Sroedji
Pahlawan Jember
Judul Buku : Sang Patriot Sebuah
Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penerbit : Penerbit Inti Dinamika Publisher
Terbit : Februari 2014
Tebal : 266 Halaman
Harga : Rp.52.000
ISBN : 978-602-14969-0-9
Beberapa bulan terakhir, persaingan
politik di tanah air sedang memanas. Masing-masing individu berusaha tampil
percaya diri menunjukkan jati diri sebagai sosok yang patut dipilih rakyat.
Semua mempunyai cita-cita yang sama, menuju Indonesia yang lebih baik. Untuk mencapai
tujuan tersebut, tak ada salahnya bila kita belajar dari masa lalu. Melalui museum,
sinema atau bahan sejarah lainnya seperti novel epos “Sang Patriot” ini.
Semuanya adalah media belajar bagi masyarakat Indonesia untuk mempelajari sikap
kepahlawanan dan keikhlasan para pejuang.
Sroedji “Sang Patriot” adalah anak
pedagang pasar yang selalu menjadi kebanggan keluarganya (halaman 16). Ayah dan
ibunya sangat mendukung keinginannya bersekolah lebih tinggi daripada
saudaranya. Meski pada masa itu tak mudah seseorang bersekolah, ayahnya rela
menyisihkan tabungannya untuk memenuhi keinginan Sroedji. Selain lulusan
sekolah teknik (Ambachtsleergang), Sroedji aktif dalam kepanduan Hizbul Wathan di
masa mudanya. Pada masa pendudukan
Jepang, Sroedji bergabung dengan teman-temannya di PETA (Pembela Tanah Air) dan
meninggalkan jabatannya sebagai mantri malaria (halaman 48). Itu semua demi cita-citanya menjadi
tentara.
Rukmini yang dinikahi Sroedji, adalah seorang
yang cerdas dan tegas. Ia rela mengubur mimpinya meneruskan sekolah di Sekolah
Tinggi Hukum dan setia mendampingi Sroedji menjalani tugasnya sebagai pejuang.
Rukmini seringkali mengalami masa genting di masa perang. Kala Sroedji bertugas,
Rukmini harus meredam kepanikan dan melindungi keluarganya dari sentuhan
tentara Jepang.
“Dengan
wajah dingin dan bengis, mereka terus mencari dan berharap menemukan wanita
muda. Tanpa ragu mereka melanjutkan langkah ke bagian belakang rumah, semakin
dekat saja dengan tempat Rukmini sembunyi” (halaman 70).
Atau
maling dari bangsanya sendiri.
“
Satu, dua, tiga, empat … ada sepuluh maling yang sedang menyatroni rumahnya”
(halaman 111).
Tak hanya itu, Rukmini juga harus
pintar mengatur perekonomian keluarga yang sedang mengalami kesulitan bahan
pangan. Kain kebaya dan simpanan perhiasan menjadi modal kehidupan bersama
ketiga anaknya selama ditinggal Sroedji (halaman 63).
Dua bulan setelah proklamasi
kemerdekaan RI, Sroedji memimpin Batalion Alap-Alap melakukan serangan balasan
pada tentara Inggris di jembatan Kali Brantas. Ia dipercaya mengomandani sektor
sayap tengah dan bertanggung jawab mencegah tentara Inggris menyerbu Surabaya.
“Serangan Batalion Alap-Alap bergelombang tiada henti, datang dari segala arah,
menyambar, mematuk dan menghujam mangsa laksana elang yang kokoh dan garang”
(halaman 85). Saat itu Sroedji dan pasukannya berhasil melaksanakan tugas.
Namun sayang, pekik kemerdekaan yang
dikumandangkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 belum sepenuhnya terjadi di
seluruh kota. Belanda belum bersedia mengakui kemerdekaan RI. Perundingan demi
perundingan pun terjadi guna menengahi peperangan. Salah satunya adalah perjanjian
Renville. Akibatnya wilayah Indonesia mengecil, beberapa kota harus diserahkan
kepada Belanda. Kota Jember adalah salah satunya. Sroedji harus membawa
pasukannya meninggalkan Besuki, mengosongkan kekuatan militernya menuju
Tulungagung, Kediri, Kepanjen dan Blitar (halaman 133). Celakanya, banyak
pasukan yang mbalelo, tidak mau
diatur. Mereka tidak terima jika harus menyerahkan wilayahnya ke Belanda.
Akibatnya peperangan kecil kerap terjadi.
Lelah dengan semangat pejuang
Indonesia yang kerap membuat kocar-kacir markas
merebut senjata dan mesiu, Belanda pun mengubah strategi. Mereka menyebarkan
sayembara berhadiah bagi penangkapan Sroedji dan keluarganya. Rukmini menangkap
gelagat buruk dari kabar tersebut. Keselamatan mereka sedang terancam. Jika
keluarga Sroedji tertangkap, mereka dijadikan “alat pemancing” Sroedji. Sroedji
pun mendengar kasak-kusuk itu dari mata-matanya. Ia pun mengirim utusan
mengungsikan Rukmini dan keluarga besarnya ke Kediri. Rukmini yang sedang hamil
tua harus berjalan melewati bukit dan gunung demi menghindari pos penjagaan
tentara Belanda. Ia harus bertahan menjalani penderitaan selama lebih dari satu
bulan (halaman 115).
Di sela-sela tugas berat memimpin
pasukannya, Sroedji juga dipercaya sebagai komandan Satuan Gabungan Angkatan
Perang pada masa pemberontakan PKI. Ia ditugaskan menumpas PKI di Blitar,
memimpin Batalyon Syafiuddin, Batalyon Magenda, Batalyon Sudarman dan Batalyon
Darsan Iru (halaman 147). Sroedji dan pasukan berhasil mengatasi pemberontakan
PKI yang dipimpin Muso (halaman 147 ).
Serangan kilat yang dilancarkan
Belanda menggempur Yogyakarta, berakibat besar terhadap suasana Indonesia saat
itu. Agresi Militer II terjadi. Sroedji dan pasukannya bersiap menghadapi
serangan Belanda. Berencana merebut kota Jember kembali. Rapat tertutup para
pimpinan pun dilaksanakan. Mereka berdiskusi tentang momentum wingate action kepada Belanda.
Keputusannya, Sroedji memimpin pasukan beserta sanak keluarga mereka masuk ke
Jember melalui jalan memutar. Sayang, mata-mata Belanda menyusup di antara mereka
(halaman 162).
Perjalanan Sroedji dan pasukannya
tidak mulus. Kelaparan akibat musim paceklik menambah penderitaan para pejuang
(halaman 191). Korban jiwa yang terkena serangan bom udara cukup banyak
(halaman 170). Bencana alam pun menghadang pasukan ini, banjir lahar dingin
Sungai Bondoyudo (halaman 202). Serangan Belanda yang mendadak muncul di tempat
peristirahatan Sroedji dan pasukannya semakin memperlemah kesigapan. Bahkan
kebutuhan amunisi pasukan mulai menipis. Namun Sroedji tetap berusaha berpikir
positif. Ia belum menduga, Somad yang ada dalam anggota pasukannya adalah musuh
dalam selimut.
Abdul Syukur, ajudan Sroedji menjadi saksi
sejarah sepak terjang pimpinannya dalam bertempur. Ia selamat dalam peristiwa
pengepungan Belanda yang terjadi malam itu. Sroedji dan beberapa perwiranya tewas
tertembak (halaman 234).
“Lapor,
Pak…Pak Sroedji dan Pak Bandi gugur, Pak! Belanda menyerbu Karang Kedawung.
Semua gugur, hanya saya yang selamat” (halaman 241).
Kota
Jember kehilangan satu patriot yang dibanggakan rakyatnya. Seorang pemimpin
yang penuh tauladan.
Entah direncana atau tidak, Irma Devita menelurkan kisah kepahlawanan
sang kakek tepat mendekati masa pemilihan calon presiden RI 2014. Figur lakon
Sroedji yang begitu kuat dalam ingatannya sangat tepat di masa krisis
kepemimpinan bangsa. Sebuah kisah patriot pelaku sejarah Indonesia dari kota
Jember yang bisa dijadikan cerminan calon para pemimpin negara kita dan remaja
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan jejakmu kawan! dan selamat bereksperimen!