Berwisata tak hanya menjadi agenda masyarakat kota. Belakangan, masyarakat menengah ke bawah pun menyediakan anggaran untuk jenis kebutuhan tersier ini. Laiknya saya dan keluarga yang tertantang melakukan perjalanan menggunakan kendaraan roda dua dengan modal minim, 100 ribu.
Ya, selembar uang merah ini sangatlah cukup jika melakukan wisata keluarga di dalam kota sendiri dengan kendaraan pribadi. Ongkos paling besar biasanya terletak pada urusan transportasi dan makan. Selebihnya kami harus mengatur taktik agar anak-anak tetap bermain tanpa mengeluarkan uang (kecuali terpaksa hehehe..).
So kami memilih meresapi keheningan di kaki Gunung Slamet sebagai pilihan untuk menghirup udara pegunungan dan menyaksikan keindahan alam bebatuan besar di Desa Semaya, menyaksikan Bukit Cendana yang megah hingga melawat Petilasan Kamandaka di Batur Agung.
sudut tepi Desa Melung dalam coretan kuasa Ilahi (pukul 11.50) |
Oleh karena itu ada beberapa teknis yang harus dipersiapkan agar perjalanan lancar dan aman, yaitu:
- Kondisi ban yang prima (tidak gembes, kencang dan tidak gundul di permukaannya)
- Persediaan busi sebagai cadangan jika motor tidak bisa digas
- Aki motor yang ok!
- Rem yang pakem
- Bensin yang terisi penuh: 6 liter (Rp 42.000)/2 motor
- Kondisi helm yang standar dan aman untuk pengendara
- Jas hujan anak dan dewasa yang terpasang di motor
- Tas plastik sebagai tempat sampah dan barang cadangan
- Bekal
Persiapan bekal menjadi bahan pertimbangan penting berikutnya sebab warung makan bisa jadi sulit ditemui di tepi jalan. Oleh karena itu untuk menghindari kerewelan anak-anak yang lapar juga letih, saya menyiapkan bekal sendiri yaitu nasi dan bandeng goreng untuk tiga anak, tiga botol air putih ukuran 300ml plus 3 susu kotak (Rp 7500); dan 6 kue pukis (Rp 6000) siap dikemas dalam tas ransel..
Bukit Cendana nampak megah di belakang kami (pukul 12.21) |
Purwokerto adalah kota sejuk yang unik.Hujan seringkali datang tak tentu waktu dan menjadi penghalang bagi yang ingin dolan-dolan di kaki gunung. Panas pas tengah hari adalah musuh kenyamanan bagi anak-anak saat berkendara roda dua. Untuk mensiasatinya, jas hujan, topi, kacamata dan jaket menjadi syarat mutlak. Jangan lupa membawa serta pakaian cadangan dan handuk, sebuah tindakan alternatif jika anak-anak tergoda main air di sungai yang jernih atau jika mereka kehujanan
Lama perjalanan untuk mencapai tiga lokasi dengan kecepatan sedang, berkisar 3-4 jam. Jika ditambah istirahat, cari rute, makan dan shalat maka akan bertambah menjadi 5 jam. Saran terbaik memulai perjalanan adalah pagi hari setelah sarapan dan bulan Juni - Agustus adalah bulan terbaik untuk melakukan perjalanan semacam ini.
persemaian padi beradu padu di antara bebatuan besar di Desa Baseh (pukul 13.29) |
Sayangnya, kami cukup siang mengawalinya. Pukul 11.00 kami baru bergerak menuju jalan raya. Rute dimulai dari Ds.Kedungwuluh - Ds.Kober - Ds.Bobosan - Ds.Karangsalam - Ds.Beji - Ds Karangnangka - Kutaliman - Ds.Melung.
Tiba di Desa Melung pada musim kemarau memang lebih aman dibandingkan pada musim hujan. Topografi naik turun berkelok disertai beberapa kerikil yang berserakan cukup menyulitkan perjalanan jika kurang hati-hati pada kondisi hujan. Bersyukur kami bisa melaluinya dengan selamat.
Kami meneruskan perjalanan menuju Ds. Windujaya (Dukuh Peninis) - Dukuh PondokLakah Baseh dan tiba di Desa Semaya. Semaya berhasil dilalui setelah menempuh jalanan menanjak terjal yang menyita energi kendaraan. Optimis tanpa harus menengok ke belakang adalah kunci keberanian mencapai desa ini, desa tertinggi di Desa Sunyalangu Kecamatan Karanglewas. Maklum saja salah satu motor kami adalah motor lawas (Honda Astrea '88).
petani Desa Semaya menepikan kolang kaling untuk diolah |
Kabarnya, sebelum proyek pengaspalan masuk desa, wilayah desa ini dipenuhi batu sangat besar dan penduduknya membangun rumah di atas bebatuan.
beberapa rumah berdiri kokoh di atas bebatuan |
bebatuan gunung bertebaran dan ditata rapi oleh petani demi sawah mereka |
wow jadi ciuuut berdekatan dengan batu super besar (pukul 13.30) |
serunya anak-anak mandi di Kali Logawa, Desa Semaya (pukul 13.34) |
Di Semaya, kami berputar mengelilingi desa lalu meluncur turun dan menyaksikan pemandangan di sebelah utara, rombongan anak-anak yang sibuk bermain air di Kali Logawa. Di sebelah selatan, sebuah tempat pemandian dibangun secara komersil. Rupanya seorang warga yang berkecukupan dan berjiwa bisnis, memanfaatkan aliran deras curahan air dari Kali Logawa, dan menampungnya menjadi Waterpark Batur Agung. Anak-anak sudah pasti tergoda dan merajuk masuk mencicipi dinginnya air yang bersumber dari Gunung Slamet tersebut. Namun kami memilih turun menuju Baseh, mencari mesjid untuk dhuhur sejenak.
Cagar Budaya Batur Agung (pukul 14.25) |
bebatuan berlumut mengawali perjalanan menuju petilasan Raden Kamandaka, rumah bercat putih (pukul 14.15) |
Rumah bercat putih di atas sepertinya dibangun agar tempat petilasan tidak berlumut dan rusak. Tak perlu bayar memasuki wilayah ini namun pengunjung dapat memberikan uang sukarela kepada juru kunci tanpa batasan nilai.
inilah petilasan Raden Kamandaka |
Keluar dari Cagar Budaya Batur Agung, anak-anak masih penasaran dengan pemandian air Batur Agung. Kami pun naik dan membeli tiket masuk. Biaya 10.000/orang menjadi peraturan resmi. Namun karena kami membawa dua balita dan satu anak, di hari Kamis (bukan hari libur/weekend) maka kami menawarnya menjadi 20.000. Beruntung sekali, kami diijinkan. Serasa beruntung di kaki gunung! Wahana ini lebih aman untuk anak-anak meski Wisata Batur Agung juga menyediakan flying fox di dekat petilasan. Tapi karena suasana wisata bener-bener sepi "nyenyet" jadi pilihan jatuh pada "main air" yang lebih seruuu tentunya.
Wahana yang disajikan di Waterpark Batur Agung hanya berupa pemandian dengan tiga kolam berbeda ukuran, yaitu kecil, medium dan dalam. Selebihnya tempat ini ditambahi dengan perosotan berair, lingkaran pelangi dan beberapa pancuran. Jangan tanya soal kesegaran airnya karena bbbbrrrrrrrrrr saat saya menyentuhnya...
mulai beraksi di air dingin (pukul 15.03) |
Meski sederhana, pemilik waterpark tetap memelihara lingkungan dengan membiarkan pepohonan asli bertebaran tumbuh di sekitar pemandian, contohnya pucung penghasil kluwek, durian, dan manggis. Mainan anak-anak kecil berusaha dipelihara apa adanya. Dua kamar mandi bersih tersedia sebagai ruang ganti. Sayang, beberapa gazebo tak terawat terlihat merana di sudut-sudut. Rupanya tak banyak pengunjung yang datang kemari. Alasannya sederhana, menuju ke pemandian ini, membutuhkan usaha keras karena medan yang wow. Tapi bagi kami ... dan tentunya pembaca pecinta tantangan, sampai disini adalah kebahagian yang memuaskan.
mendung tra la la la..siapkan jas hujan honey |
Kami memutuskan melewati jalan yang halus. Bukan lagi rute berangkat yang terlalu beresiko untuk dilalui di sore hari. Menembus jalan beraspal mulus temurun, sangat menghemat bensin. Namun siapkan rem tangan dan kaki dengan baik. Jangan mengantuk dan prima-kan pandangan anda!
Daaaan Desa Dawuhan berlalu dari pandangan kami. Tapi tunggu..ada yang menarik. Desa ini adalah desa sentra penghasil bibit tanaman, baik tanaman keras, tanaman perkebunan dan tanaman pertanian.
Tak salah jika kami mampir sejenak mencari buah tangan: bibit-bibit tanaman langka.
pose sejenak di antara bibit tanaman gowok dan matoa |
Kami memilih bibit gayam, gowok, menteng dan mundu yang dijual 2000/bibit. Bibit ini termasuk jarang ada di daerah perkotaan.
areal pembibitan yang lebih layak disebut hutan..hebat Bu Tinah! |
So, mari kita rinci:
Bensin : Rp 42.000
Kue dan susu: Rp 13.500
Biaya masuk Waterpark: Rp 20.000
Beli bibit : Rp 16.000
Total: Rp 91.500
Sisa: Rp 8.500
INGAT!
Cek kendaraan untuk menjalani wisata off road Selain jalan yang menurun-menanjak, kerikil dan bebatuan cukup banyak bertebaran di jalan. Jadi ketrampilan mengendarai dan kesabaran pengemudi turut diuji. Pun, sebaiknya tidak mencoba ngebut di tempat ini! Selain rugi melewatkan kesegaran aroma hutan dan pemandangan yang sangat indah bak lukisan, sangat tidak aman menuruni jalanan dengan kecepatan tinggi.
PEMENANG PERTAMA GIVEAWAY JALAN-JALAN MODAL 100 RIBU
Asyik bener wisata alamnya, Mbaaaa. Purwokerto enggak melulu Baturradem jebule. Hahaha
BalasHapusApakabar Pohon Gowoknya?
Iki calon pemenang tah.
wisata alamnya segeerrrrr kelihatannya.
BalasHapusudah gitu nggak terlupakan ya off road nya, hihi.
Wahhh juara mbak selamat y mbak ^-^ yihhaa hehe
BalasHapuswah baru tau di baseh ada petilasan raden kamandaka, tahun 90-an saya pernah Baksos (bakti sosial) di Baseh, sempat hiking di hutannya dan ketemu sungai yang jernih dan lumayan besar juga (malah sempat minum airnya langsung)
BalasHapus