Rabu, 14 Januari 2015

Resensi Buku Learning From The Heart

Belajar Kaca Diri Guna Mencapai Kebahagiaan


Judul Buku : Learning From The Heart (Belajar Dari Hati)
Penulis : Daniel Gottlieb
Alih Bahasa  : Farida Inayati
Tahun Terbit : Cetakan I, Mei 2014
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal Halaman : 214 Halaman
Harga : Rp 56.000
ISBN : 979-602-03-0496-0


Jangan pernah berhenti mendengarkan suara hati diri dan orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi suara-suara tersebut menjadi genderang yang baik atas semua sikap arogan dan remeh pada kehidupan kita selama ini. Pesan penuh renungan itulah yang berusaha diangkat oleh seorang psikolog bernama Daniel Gottlieb. Kondisi quadriplegia yang dialami Daniel di usia tiga puluh tiga tahun, menjadi awal lahirnya buku “Belajar dari Hati” ini.
Daniel Gottlieb melihat cinta murni keluarga dan teman-temannya dari sudut pandang yang berbeda paska kecelakaan. Indera Daniel terasah hebat hingga mampu berpikir positif daripada kondisi sebelumnya. Sikap syukur inilah yang ia bagikan. Syukur atas banyak hal, termasuk kesempatan menjalani kehidupan bersama ibu yang terlanjur dia cap sebagai “mama cerewet” (halaman45). Kisah “Menggenggam Tangan Ibuku” menguak kenangan Daniel bersama ibu tercinta yang sangat melindungi. Berbagai kenangan yang selama ini tak bisa dipahaminya justru terlambat disadari saat ibunya sudah tak bernyawa. Kemarahan, sikap cerewet dan menuntut sang ibu pada Daniel, adalah cermin bagi pembaca pada sosok ibu di seluruh dunia. Sebagai orangtua, momen menyedihkan tersebut menggerakkan hati Daniel untuk bersikap arif pada anak-anaknya (halaman 52).
Topik perselisihan orangtua dan anak ikut diulas dalam “Apa Yang Anak Kita Lihat” (halaman 65). Sebagai psikolog dan orangtua, Daniel sadar gesekan emosi dua belah pihak dalam rumah kerap menimbulkan kesedihan dan kegelisahan berkepanjangan. Ditengarai, selisih paham muncul karena tuntutan sepihak tanpa komunikasi yang baik. Efeknya anak memusuhi orangtua dan sebaliknya di hari tua. Sikap yang dapat menggagalkan seseorang mencapai harapan karena rasa bersalah yang dibangun sejak dini.
Pada dasarnya manusia terus belajar mengubah apa yang salah menjadi benar dalam hidupnya (halaman 60). Proses menuju benar versi masing-masing individu inilah yang kerap memicu kekhawatiran di dalam diri dan menular pada orang lain (halaman 71). Rasa takut berlebihan hingga menimbulkan sikap negatif dan prasangka pada orang lain justru membuat jurang jarak pergaulan.
Kunci semua itu adalah mengendalikan kekhawatiran. Sikap ini menjadi pintu awal agar manusia dapat berdamai dengan masalah hidup yang menggelisahkan: khawatir. Khawatir terhadap ketidakmampuan, khawatir terhadap penolakan, khawatir terhadap pandangan publik dan segala bentuk khawatir lainnya yang menggerogoti tubuh hingga manusia lumpuh dan tak lagi mengenali dirinya sendiri. Pertanyaan menyindir pun meluncur.
“Apakah kehidupan hanyalah tentang mengelola kekhawatiran kita?” (halaman 72)
Sungguh konyol jika manusia terlalu sibuk dengan berbagai kekhawatirannya. Selain menghabiskan energi, sikap demikian menunjukkan ketidaksiapan manusia pada rencana yang sudah dibuatnya sendiri. Manusia selalu lupa bahwa saat ia membuat daftar “target hidup”, saat itu pula satu per satu “worries list” bermunculan. Jadi menerima peristiwa, apapun keadaannya adalah jalan terbaik sebab cara menghadapi peristiwa itulah yang akan menjadi tolak ukur kehebatan manusia. Manusia super bukan hanya berhasil melewati kesulitan tapi mampu bersikap ikhlas dan siap mengontrol diri.
“Kebijaksanaan besar tidak akan pernah datang seandainya tidak didahului momen oh sial-ku” (halaman 121).
Sikap ikhlas dapat ditunjukkan dengan bersikap memaafkan orang dan berdamai dengan peristiwa buruk yang pernah menimpa lalu selanjutnya mengikuti kata hati dengan mengimani kekuasaan Tuhan. Daniel meyakini, manusia beriman dapat memaafkan kenangan pahit yang menimpa dan menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang atau sebaliknya. Semua keburukan adalah imbas dari kesalahan sebelumnya. Jadi memutus rantai kemarahan dengan memaafkan adalah jalan terbaik (halaman 117).
Dalam ruang gerak yang serba terbatas, Daniel terus memberi sinyal bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup tetap bisa diraih dengan sudut pandang yang berbeda. Ia menyimpulkan manusia bijak adalah sosok yang mampu mengelola emosi jiwa dengan senantiasa mensyukuri nikmat Tuhan. Buku ini cermin bagi kita, agar tidak sembarangan mengaku sempurna jika masih merasa ada amarah dan keluh kesah pada takdir Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejakmu kawan! dan selamat bereksperimen!